Karya :
Teta Nurul Ismah .
Hujan masih deras mengucur, berkali-kali langit diterangi kilat, dan malam dipecah dengan suara guntur. Malam ini, butiran tasbih kupetik satu demi satu. Mungilnya jemari tanganku menari-nari dengan alunan dzikir yang mengalun syahdu. Potret diriku dahulu, hinggap dalam rekaman benakku. Lidahku kelu, darah seakan berhenti mengalir.
Sungguh, kejadian itu berawal dari kedua tangan ini Dunia remajaku penuh dengan kegelapan. Menyisakan kepengapan, dan dindingnya begitu kotor dipenuhi coretan dosa. Aku berdiri menunggu bus yang lewat, dan bergegas untuk segera pergi ke sekolah karna aku tak mau datang terlambat. Sesampainya di sekolah, Desi memberitahuku bahwa Bu Ratih memintaku datang ke ruangannya.
“Apa kamu tahu alasan Bu Ratih memanggilmu Laila? “ Celetuk Sisil menghampiri.
“Tidak, atau mungkin. Oh, tidak! Aku belum bayar uang sekolahku” jawabku spontan.
“Sudah kuduga, lihat deh jam tangan baruku. Ibuku membelikan nya waktu berlibur ke Malaysia, baguskan ? “
“Coba aku lihat ? ” Tanyaku penasaran.
“Eh, jangan dipegang, ini jam tangan mahal tahu! Kalau rusak, emang kamu bisa ganti, sadar dong kamu tuh miskin !”. ucap Sisil merendahkanku.
“Plaaak !” Habis sudah kesabaranku. Aku memukul meja yang tak besalah sebagai balasan dari perkataannya itu.
Tak banyak bicara,aku langsung pergi. Semakin aku berlari, semakin bercucurlah air mataku ini. Apa yang sedang aku rasakan sekarang, berada dalam luar kuasaku untuk mengendalikannya.
“Laila, sabar ya? Sekarang kita pulang saja. Aku sudah dijemput ayahku.’’ Pelukan Desi meredakan beban kesedihanku, berkurang bersama tetes air mata ini.
Aku pulang setelah melihat Desi dijemput oleh ayahnya. Tiba-tiba, bola mataku menghangat. Aku teringat saat aku dulu dijemput ayah menaiki sepeda tua kesayangannya. Tapi kini, ayah sudah tiada.
Aku melihat diriku ini rendah, diriku hanya seorang anak dari ibu yang berjualan nasi uduk dipinggir jalan, aku sering malu, karena teman-temanku selalu menghinaku. Dan ini, seragam yang aku kenakan sudah tak layak dipakai. Detik ini aku hanya bisa berbicara dalam diam, merangkai kata dalam lisan yang beku.
“Blaaaak..” Kubuka pintu rumah yang kumuh dan kotor. Suara itu membuat ibu terhenyak dari pembaringannya.
“Laila, ucapkan salam terlebih dahulu bisa kan sayang? ” Ucap bunda lembut.
“ Kalau aku ucap salam, uang tak akan turun dari langit dan merubah rumah ini menjadi istana kan bunda? “ Kulemparkan tas dan sepatuku yang mengenai tubuh bunda.
“Surat apa ini? Kamu belum makan, tapi untuk sekarang bunda belum siapkan. Mau makan apa sayang? Kamu pasti lelah seharian belajar.” Tawar bunda.
“Aku muak, itu surat tagihan pembayaran uang sekolah yang belum bunda bayar.” Aku menatap bunda penuh kesal.
“Mungkin kamu harus sedikit bersabar dulu, karena dagangan bunda sekarang sepi.”
“Kenapa bunda gak jual diri bunda saja biar bisa punya uang banyak? Bunda masih cantik.” Jelasku sambil cemberut menatap bunda. Tapi, bunda malah tersenyum. Sungguh nafsu kesalku semakin memuncak. Aku lihat bunda akan memasak nasi goreng untukku.
“Laila, tolong ambilkan nasinya sayang! Bunda tanggung sedang memotong cabainya.”
Aku hanya terdiam, seakan-akan tak peduli. Aku menghampiri bunda dengan perlahan.
“Mana nasinya nak? “ Pinta bunda padaku, senyum manis bunda aku balas dengan wajah kekesalanku.
“Gak ada nasinya bunda, tangan bunda mulus juga, biar aku ganti nasinya dengan tangan bunda ya?” Aku tarik dan aku rendam tangan bunda bersama minyak yang telah dipanaskan.
“Sakit kan bunda? Sakiit? Ini yang aku rasakan karna bunda tak punya uang. Bunda penyebab aku dihina teman-temanku, aku benci bunda!”
Aku tetap menahan tangan bunda, membiarkannya tergoreng bersama bumbu-bumbu yang sedang dimasak. Nafsu jiwaku menyala seakan-akan aku puas dengan dendamku ini. Tak lama kemudian, aku angkat tangan bunda yang kini kulitnya melepuh, terkelupas bercucuran darah.
Hari berganti hari. Kerudung tangis mulai tersingkap, dan mulailah aku diselimuti awan kesedihan yang mendalam. Bunda jatuh sakit karna luka ditangannya yang mulai bernanah dan mengeluarkan bau busuk.
“Kakak, kenapa bunda menangis? Kenapa bunda pucat kak? Dan luka ditangannya memar. Kenapa kakak?”
“Kasih saja obat betadin untuk bunda, besok juga sembuh.” Adikku Lina bertanya, aku menyembunyikan kejadian yang menimpa bunda, aku tak mau disalahkan olehnya. Aku hanya terdiam. Tiba-tiba Desi datang ke rumahku.
“Laila,yuk kita berangkat sekolah? Bundamu mana? Aku ingin bersalaman dengannya.” Aku masih tetap terdiam, Desi melihat bunda yang berbaring lemah tak berdaya.
“ Astaghfirullohaladzim, bundamu demam. Kita bawa dia ke rmah sakit.”
Desi dan Lina adikku membawa bunda ke rumah sakit. Lama sudah aku merenung memikirkan hal yang tak pasti tentang bunda, aku merasa malu. Aku segera bergegas menyusul mereka ke rumah sakit.
Saat aku tba di rumah sakit, aku melihat bunda dalam keadaan kritis. Lengkap dengan selang-selang dang tabung pemyelamat.
“Diagnosis dokter menyimpulkan, demam bunda berawal karena luka ditangannya itu. Menyebabkan infeksi busuk dan harus diamputasi demi menyelamatkan nyawanya.” Desi menangis terisak-isak, menjelaskan kondisi bunda. Sungguh, aku merasakan tubuhku tercabik-cabik, tersayat-sayat jiwaku,ucapan itu meluluh lantahkan perasaanku, menghisap ingatanku, dan aku menyesal.
Tak lama kemudian, bunda sadar dan terbangun dari oprasinya. Sambil menahan rasa sakit dan bingung melihat tangannya dibalut kain putih.
“Laila...Laila..!” Bibir bunda berucap terbata-bata.
Aku menghampiri, perlahan aku duduk, aku tak kuasa menahan tangis ini, seakan-akan semestapun ikut menangis. Sebab semesta pernah bahagia menyaksikan tawa renyahnya bunda yang lembut dan penuh cinta. Lihatlah bunda yang sekarang, dia hanya terbaring tak berdaya.
“Laila anakku, bunda janji tidak akan menyuruhmu lagi. Kasihanilah bunda, tolong kembalikan tangan bunda. Bunda belum memasak nasi untukmu sayang.”
Aku menjerit penuh sesal tiada henti. Sakitlah sudah hatiku ini. Aku rangkul tubuh bunda dengan penuh pengharapan maaf. Tapi apalah daya, aku tak sanggup untuk berkata.
“Tolong kembalikan tangan bunda, pinjam saja sebentar sayang. Bunda ingin memeluk dan menghapus air matamu, pinjam tangannya sebentar saja, bunda ingin menyalami tanganmu karna bunda bersalah tak bisa membahagiakanmu sayang!”
Kusandarkan jiwa yang lesu dan berdebu dosa memeluk bunda, tiada mampu aku kembali menapik dan lari dari kesempurnaan kasih sayangnnya.
“Bunda, jangan tinggalkan Laila, huhuhuu. Aku tak kuasa mendengar rintihan pedihmu, lihatlah aku yang tersungkur lemah dipelukanmu bunda”. Tiba-tiba kurasakan denyut nadi bunda berhenti, tubuhnya mendingin, tangisnya kini membeku.
“Dokter, dokter!!! Tolong bunda saya dok, tolonglah!” Teriakku keras. Tak lama kemudian dokter menghampiriku.
“Maaf, kami sudah berusaha optimal. Tapi suratan nasib ada di tangan Alloh, bundamu sudah tiada, obat yang disalurkan, tubuhnya menolak, dan responnya negatif”.
Ku urai satu demi satu air mata tinta hitamku pada sudut semesta hati yang teramat basah oleh duka. Aku seumpama berdiri diatas sirath dan akan terjungkal bebas ke dalam neraka.
“Kejamkah Alloh itu Desi?” lirihku pelan.
“Tidak Laila, kita hanya perlu menerima dan bersabar.”
“Kenapa Alloh mencampakkanku begini? Inikah wujud dosa-dosaku? Inikah cara Alloh menghukumku? Huhuhuu.”
“Kesedihanmu adalah kesedihanku juga, ini wujud kasih sayang Alloh padamu.”
“Sungguh wujud kasih sayang yang menyiksa! Apa bedanya antara Alloh dengan orang yang bahagia diatas penderitaan orang lain?”
“Cukup Laila, kita berhak untuk bersedih, tapi jangan sampai kita meragukan keadilan-Nya.” Jawab Desi keras.
Seandainya skenario hidup itu disusun olehku sendiri, tentu drama dan dialog kesedihan ini akan ku hapuskan, dan akan aku ganti semuanya dengan kisah bahagia. Tapi, siapakah aku terhadap penguasa hidupku? Dialah Alloh, yang dengan kuasa-Nya mematikan setiap insan yang bernyawa. Aku tak mampu lagi berkata, diotakku hanya ada gelap, bumi seakan berputar pelan, mataku sakit, kepalaku pening, dadaku sesak, semuanya terasa hampa, akhirnya aku ambruk tak sadarkan diri.
Ku hirup nafas dalam-dalam, perlahan ku hembuskan, ku tatap langit, dan ku cari bintang. Aku menyesal, sebab bintang tak ada di langit. Aku baru menyadari, bintang tak akan ada di siang hari.
“Kakak sedang apa? Ayo kita pergi ke Mushola, sudah saatnya sholat dzuhur kak!”
“Iya adik, sebentar kakak siap-siap dulu. Tunggu saja diluar!”
Tak terasa aku mengingatnya semalaman penuh. Matahari telah menerlingkan sorot matanya. Potret ini, potret diriku bersama bunda. Aku melihat diriku hanyalah seorang manusia penuh dosa. Dosa tersebut menjelma menjadi rupa-rupa bentuk yang mengerikan, rupa bentuk itu adalah aku. Aku yang menangis, aku yang merintih karna dosa ini, dosa tangan ini, dosa mulut ini.
Inilah aku yang mendirikan sembahyang.
Ya Alloh, aku tengah mengadu kembali pada-Mu, tidak banyak do’a bahasa arab yang kuhafal. Tapi apalah arti bahasa bagi-Mu? Engkau mengetahui hambamu bukan melalui bahasa, maka lidahku yang hanya bisa berbahasa ini saja yang mewakili pengaduanku.
Teruntuk bundaku tercinta...
Setiap alunan do’a yang kau panjatkan, aku tahu kau tunjukan untukku, setiap derai tangismu, aku tahu kau mengkhawatirkanku. Kala menatap wajah dan senyummu yang lembut, ku ingin kau tahu, bahwa kau selalu dihati, ingin kurengkuh semua harapan disetiap desah nafas panjangmu dahulu. Bisikan tangisku ini menghimpun rinduku yang menyala padamu, dalam setiap nafas kerinduanku.
Bunda, sungguh aku merindukanmu bunda...
“ Maha suci Engkau dzat yang maha tinggi dan maha kekal, ampunilah segala dosa-dosaku, dosa orang tuaku. Sungguh, sampai sekarang aku belum bisa untuk mengerti bahwa Engkau lebih menyayangi mereka untuk kembali pada-Mu. Janganlah Engkau campakkan mereka dalam kegelapan jurang neraka. Tempatkanlah mereka dalam ruang rahmat-Mu. Amiin Ya Rabbal Alamiin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar